Apa itu Wanprestasi dalam Hukum Perdata?
Mungkin di antara semua pembaca pernah mendengar istilah “ Wanprestasi”, jika belum pernah mendengar Wanprestasi biasa digunakan oleh praktisi hukum maupun pembelajaran di kuliah Fakultas Hukum. Istilah wanprestasi diambil dari Bahasa Belanda ( Wanprestatie) yang memiliki arti tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban dalam suatu perjanjian. Menurut KBBI, wanprestasi adalah keadaan dimana salah satu pihak di dalam suatu perjanjian telah melakukan kelalaian.
Mengenai wanprestasi yang dimaksud adalah ingkar janji, maka harus ada pihak-pihak yang sebelumnya telah melaksanakan perjanjian. Dasar dari Perjanjian adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), perjanjian yang bersumber dari perikatan. Dan perikatan memiliki makna yang luas, yaitu perikatan dipakai dalam suatu hubungan hukum antara 2 pihak. Dampak dari perikatan tersebut, bahwa pihak yang pertama harus menuntut suatu hal dari pihak kedua, dan pihak kedua wajib untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Ada 2
hal Perikatan dapat terjadi, yaitu :
1. Perikatan
terjadi karena Undang-Undang, perikatan ini lahir karena ada Undang-Undang yang
mengikat. Misalnya Pasal 321 KUHPer berbunyi “tiap-tiap anak wajib menafkahi kedua orangtuanya dan para keluarga
sedarahnya dalam garis ke atas, apabila mereka dalam keadaan miskin”. Pasal
tersebut mengartikan bahwa seorang anak memiliki kewajiban atau tuntutan untuk
menafkahi orangtua dan saudara-saudaranya dalam keadaan miskin, walaupun tidak
diperjanjikan.
2. Perikatan
terjadi karena sebuah perjanjian, contohnya yaitu perjanjian jual beli antara
si A (penjual) dan si B (pembeli). Si B memiliki kewajiban memberikan si A
untuk menyerahkan uang pada barang yang ia beli, lalu si A wajib memberikan
barang kepada si B.
Perikatan yang lahir dari perjanjian inilah yang paling sering digunakan dalam aktivitas hukum sehari-hari. Lalu bagaimana syarat sahnya perjanjian menurut KUHPer? Pasal 1320 KUHPer mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, berikut penjelasannya.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, arti dari syarat pertama ini dari kata “sepakat” adalah dimana kedua belah pihak setuju terhadap perjanjian yang telah dibuat dan menerima hal-hal pokok apa saja yang ada di dalam perjanjian tersebut. Kesepakatan yang telah dicapai tanpa adanya paksaan, penipuan, ataupun kekhilafan yang diatur dalam Pasal 1321 KUHPer. Contohnya si A (Penjual) dan si B (Pembeli) sepakat untuk melakukan jual-beli tanah. Didalam kesepakatan tersebut dilaksanakan secara sadar dan atas kehendak para pihak, tak ada paksaan, penipuan maupun kekhilafan.
1. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian,
arti dari syarat kedua ini dari kata “cakap”, yang berarti hanya pihak yang
cakap dan telah dinyatakan oleh hukum, yaitu orang yang mampu membuat suatu
perjanjian. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu :
Orang yang tak cakap untuk membuat suatu perjanjian :
a. Orang yang belum dewasa,
yaitu berumur 21 tahun (Pasal 330 KUHPer).
b. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan
dan perempuan yang telah dewasa, yaitu seperti cacat/gila,
dinyatakan pailit oleh pengadilan dan lain sebagainya.
c. Seorang istri, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tentang Gagasan Mengganggap Burgelijk Wetboek tidak sebagai Undang-Undang, seorang istri sudah dianggap cakap untuk membuat suatu perjanjian.
1. Suatu hal tertentu,
arti dari “Suatu hal tertentu” ini adalah “objek tertentu”. Artinya didalam
sebuah perjanjian harus ada objek yang jelas apa yang akan diperjanjikan, objek
tersebut diatur dalam Pasal 1333 KUHPerdata), sederhananya adalah adanya barang
atau jasa yang diperjanjikan. Contohnya ketika membeli sebuah tanah, harus
diketahui dimana kota/kabupatennya, kecamatannya, kelurahannya alamatnya,
sertifikat nomornya, luas tanahnya berapa, disebelah utara, timur, barat dan
selatan di tanah tersebut berbatasan dengan apa saja dan lain sebagainya.
1. Suatu sebab yang halal, artinya adalah, tujuan dari perjanjian tersebut atau apa saja yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, Kesusilaan, Ketertiban umum. Hal tersebut telah diatur didalam Pasal 1337 KUHPer. Contohnya yaitu perjanjian jual beli narkoba atau perjanjian hal-hal yang tidak dibenarkan oleh Undang-undang, kesusilaan, agama dan ketertiban umum. Perjanjian tersebut adalah dilarang dan tidak sah.
Jika terjadi wanprestasi antara kedua belah
pihak dalam membuat suatu perjanjian, maka pihak yang merasa dirugikan dapat
menuntut ganti rugi, seperti penggantian/pengembalian biaya kepada pihak yang
ingkar janji/lalai tersebut. hal tersebut telah diatur dalam Pasal 1243 KUHPer.
Sumber :
1. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Tim
Hukumonline, “Pengertian Wanprestasi, Akibat, dan Cara Menyelesaikannya”
Hukumonline, 10 Agustus 2023, https://www.hukumonline.com/berita/a/unsur-dan-cara-menyelesaikan-wanprestasi-It62174878376c7/
3. Subekti,
Hukum Perjanjian, Cet. ke-10, (Jakarta: PT Intermasa, 1985), h.1.
4. Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tentang Gagasan Menganggap Burgeliejk
Wetboek Tidak sebagai Undang-Undang.
Komentar
Posting Komentar